Sunday, July 28, 2013

Ano Sora E

Title : Ano Sora E
Rating : K+.
Genre : General.
Pairing(s) : None.
Warning(s) : Rough draft, belom sempurna.
Disclaimer : I don’t own Prince of Tennis. All right reserved to Konomi Takeshi.
A/N : Cerita seputar penyakit Yukimura dan perasaan Akaya, serta sedikit peran Yanagi. Aku suka cerita yang begini, yang meski dari sudut pandang Akaya, namun sebenarnya yang ingin kutonjolkan adalah persahabatan Yukimura-Yanagi dan rasa percaya di antara mereka. Yanagi terlihat cuek, namun sebenarnya dia memikirkan timnya lebih dari siapapun. Menurutku. 

“YUKIMURAAAAA!”

Musim dingin kelas 1, tak lama setelah anak kelas 3 mengundurkan diri.
Ketua klub yang baru, Yukimura-buchou, jatuh.

Saat itu kami baru saja pulang dari latihan - setelah mampir ke konbini untuk jajan. Baru saja kami tertawa bersama menuruni tangga untuk masuk peron. Tiba-tiba saja.

Teriakan Sanada-fukubuchou menggema ke penjuru stasiun.
Melihat wajah pucat Yukimura-buchou dan dinginnya tangannya, akupun ikut berteriak.
Yang lain ikut berkerumun. Yanagi-senpai menelpon ambulans.

Meski kugenggam seerat apapun tangannya, kupanggil sekeras apapun, Yukimura-buchou menolak untuk membuka matanya.

 -

Begitu ambulans datang, kamipun berdesakan masuk ke mobil ambulans. Tidak ada sepatah katapun terucap; bahkan Niou-senpai yang suka iseng dan Marui-senpai yang ceria terdiam. Semua mata tertuju pada Yukimura-buchou yang masih memejamkan mata.

Setibanya di rumah sakit, ia langsung diangkut ke kamar pasien untuk diperiksa. Kami menunggu di luar penuh harap, agar Yukimura-buchou baik-baik saja dan hanya sedikit pusing.

Namun semua harapan sirna begitu dokter keluar kamar pasien dan memberitahu bahwa Yukimura-buchou mengindap penyakit serius yang bahkan untuk bermain tenis saja sudah tidak mungkin dilakukan. Kalaupun ia menjalani operasi, kemungkinannya hanya 50%.

Selama ini aku percaya bahwa aku bukan orang yang cengeng, tapi mungkin sebenarnya begitu – karena dengan mudahnya kuteteskan air mata begitu mendengar vonis tersebut. Kupukulkan kepalan tanganku ke pintu dan berteriak mengapa semua ini terjadi. Mengapa Yukimura-buchou.

Bagaimana bisa takdir merebut tenis darinya yang begitu mencintai permainan ini lebih dari siapapun?

Para senior mencoba menenangkanku. Sanada-fukubuchou memarahiku dengan nada keras. Tapi semua itu terlihat sia-sia karena wajah mereka bahkan terlihat lebih murung dariku. Fukubuchou juga terlihat menahan air matanya. Semua memiliki perasaan yang sama.

Beberapa waktu kemudian buchou tersadar. Kami diperbolehkan masuk setelah dokter berbicara mengenai kondisinya. Saat kami masuk, buchou masih dengan senyumnya, hanya saja dengan air muka sedih. Ia menyuruh kami untuk tidak usah memikirkannya, lebih baik kami fokus ke latihan untuk pertandingan musim panas nanti. Meski tanpanya, bisiknya. Sanada-fukubuchou pun mengangkat kepalanya. Ia bersumpah untuk terus menang dan membawa medali kemenangan ke pangkuan Yukimura. Ia berkata dengan nada keras, penuh keyakinan, serta parau karena tangisan yang tak kuasa ia tahan. Aku mengiyakan sambil berkata bahwa kita tak akan melanggar janji ini. Janji yang mengikat kami semua. Kutolehkan pandangan kepada yang lain, merekapun mengangguk.

Yukimura-buchou tersenyum sambil menggenggamkan tangannya. Janji ya, bisiknya dengan penuh keteguhan hati.

-

Hari-hari berlalu. Kami menjalani latihan keras. Berada di bawah kepemimpinan Sanada-fukubuchou sangatlah berbeda dibandingan dengan Yukimura-buchou. Ia tidak mengizinkan kekalahan sedikitpun; jika ada yang mengalami kekalahan, ia tak ragu untuk melayangkan pukulannya. Memang keras, namun kami tidak menyalahkannya; karena kami punya janji untuk terus menang demi Yukimura-buchou.

Sesekali kami menjenguk buchou sehabis latihan; Marui-senpai dan Jackal-senpai kerap membelikan makanan untuknya. Niou-senpai menunjukkan sulap agar ia terhibur, terkadang dibantu oleh Yagyuu-senpai (yang sebenarnya agak lamban). Yanagi-senpai selalu menanyakan kondisinya dan sesekali menceritakan kejadian-kejadian saat kegiatan klub berlangsung. Sanada-fukubuchou selalu menemaninya berbicara di sampingnya.

Semuanya terlihat biasa saja, namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap ini segera berakhir. Segeralah lepaskan buchou, agar kami bisa tertawa bersama di ruang klub, di atas lapangan rumput yang hijau.

Suatu waktu aku pergi menjenguk buchou berdua saja dengan Yanagi-senpai, strategis kami yang jenius. Awalnya aku tidak suka dengannya karena ia tak bisa ditebak dan terkesan dingin, namun kenyataannya sekarang dialah orang yang paling dekat denganku karena dia mempunyai tugas untuk mengawasi serta memberi arahan padaku. Meski pendiam, ia tidak dingin dan selalu memikirkan teman satu tim.

Di tengah perjalanan, aku bertanya padanya mengapa Yukimura-buchou harus mengalami hal seperti ini. Mengapa bukan yang lain saja. Ia menegurku dan berkata bahwa hal seperti ini tidak seharusnya ditunjukkan untuk siapapun. Ia juga berkata bahwa takdir menimpakan semua ini pada buchou tidak tanpa alasan. Aku menatapnya sambil berkata kalau ia terlalu tenang, apa ia tidak memikirkan buchou sedikitpun? Dipikir-pikir, apa dia meneteskan air mata saat buchou terjatuh atau divonis tidak bisa main tenis lagi?

Akupun menghentikan langkah dan menatapnya ragu. Iapun ikut berhenti. Akupun kembali bertanya apakah ia tidak merasa sedih akan apa yang menimpa buchou. Ia membuka matanya sedikit, lalu membalikkan badan. Dengan senyum pilu ia berkata tentu saja ia memikirkan Yukimura-buchou, tentu saja ia meneteskan air mata, dan tentu ia sedih melihat kondisi Yukimura-buchou yang sekarang. Terus kenapa, tanyaku dengan nada meninggi. Iapun menoleh ke arahku lagi. Karena aku tak ingin dimarahi Seiichi, ucapnya. Alisku mengernyit. Apa maksudnya. Iapun menjelaskan bahwa bila ia bersedih, Yukimura-buchou akan kebingungan, dan itu akan menyulitkannya. Ia tak ingin membuat Yukimura kebingungan lebih dari ini. Berulang kali air matanya hendak menetes saat melihat buchou terbaring di kasur rumah sakit, namun semua itu mengering begitu mengingat bahwa buchou pun sedang berusaha melawan penyakitnya. Ia merasa tak pantas untuk berhati lemah dan merengek. Sama seperti yang lain, tentu iapun memikirkan buchou, namun bukan dengan cara meratapi hal yang menimpanya dan menangisinya. Ia menujukku dan Sanada-fukubuchou yang ekspresif mewakili perasaannya untuk ditunjukkan pada buchou. Itu saja cukup, ujarnya pelan menutup ucapan panjang lebarnya.

Kata-katanya memenuhi kepalaku. Aku merasa bahwa apa yang ia katakan benar. Ia kembali melangkahkan kakinya. Akupun mengikutinya. Kutengadahkan kepalaku ke langit. Langit begitu biru, awan putih berarakan, dengan deru angin lembut. Meskipun ada kalanya langit berwarna kehitaman dan merintikkan air hujan ke bumi, pada akhirnya langit akan kembali terang dengan warna birunya yang cemerlang.

Senyum terukir di bibirku. Kulewati sosok Yanagi-senpai sambil berterima kasih dengan suara pelan. Setelah itu akupun berlari dan mengajaknya untuk berlomba sampai rumah sakit.

Tidak ada waktu untuk merengek.
Jangan berhati lemah.
Karena aku – kami – punya janji.
Janji yang mengikat persahabatan kami semua.
Untuk menjadi lebih kuat.
Demi Yukimura-buchou.
Demi Rikkaidai.

Demi diriku sendiri.  

No comments:

Post a Comment