Sunday, March 17, 2013

Fallen


Title : Fallen
Rating : M/R18.
Genre : General.
Pairing(s) : Kirihara x Yanagi.
Warning(s) : Yaoi, SoloM.
Disclaimer : I don’t own Prince of Tennis. All right reserved to Konomi Takeshi.
A/N : Written in Indonesian. Masih draft. Kalo udah kuedit, mungkin bakal kupost di ffn. Postingan fic pertama gua di Bahasa Indonesia kok mesum gini..
Well, to the story!

-.-.-

'Akaya, kau adalah kebanggaan kami. Kami titipkan klub tenis rikkai padamu.'
Akaya menatap langit-langit kamarnya. Suara itu, sosok itu, masih saja menggema di kepalanya sampai sekarang.
Orang itu.
Awalnya ia tidak terlalu peduli dengannya. Sifat mereka sangat bertolak belakang, begitu pula style tenisnya. Mereka juga tidak begitu dekat.
Tapi perlahan, Akaya menyadari bahwa keberadaan orang itu sangat penting; bagi tim maupun baginya. Ia selalu menyokong tim dari belakang; membuat menu latihan, memberikan saran, terkadang mengurusi anggota yang terluka. Padahal ia sendiri harus mengurus dirinya sendiri; namun ia hanya diam sambil melakukannya tanpa mengeluh.
Orang itu bahkan menjadi mentor khusus untuknya, mengajarinya untuk mengontrol kemampuannya yang agak berbahaya. Orang itu memang tidak melakukannya dengan senyum, tapi juga tidak terpaksa karena ia sangat menyukai timnya.
Tanpa senyum pun, ia sudah..
Akaya membalikkan badan sambil menutup mukanya dengan bantal.
"Huh, menggelikan."
'Akaya..'
Suaranya kembali bergema. Akaya bergumam jengkel.
Orang itu tidak cantik. 
Ia bahkan bukan perempuan.
Ia juga tidak bisa dikatakan tampan. Rambutnya lurus - berbeda dengannya yang keriting berantakan - dengan poni yang dipotong terlalu pendek. Benar-benar hanya pemuda biasa dengan mata yang selalu terpejam.
Bulu matanya panjang dengan garis yang tegas. Jika dibuka, terlihat sepasang bola mata yang tajam, seakan dapat melihat segalanya.
Lalu, bibirnya yang agak tebal-
Akaya menyipitkan matanya.
Untuk apa dia memikirkan orang itu..?
"Benar-benar menjengkelkan!"
Ia teringat saat orang itu mengobati lukanya. Jemarinya yang panjang menyentuh kulitnya. Orang itu tidak menceramahinya panjang lebar seperti fukubuchou atau jackal-senpai; ia hanya mengingatkannya sedikit, dengan suara yang lembut dan menenangkan.
Suaranya..
'Akaya.'
Akaya tak mengerti kenapa suhu tubuhnya meningkat saat suara orang itu terngiang di kepalanya. Debar jantungnya juga menolak untuk bergerak normal.
Bagian bawah tubuhnya juga, entah kenapa bereaksi.
Ia menggigit bibirnya.
"Jangan bercanda.. Mana mungkin aku-"
Seketika, terbayang wajah orang itu; dengan tangan sedang memegang pipinya, bibir yang tak jauh dari wajahnya, butiran air membasahi rambutnya. Kulitnya yang juga terkena air terlihat berkilau.
Terlihat.. 
Menggairahkan.
Tanpa sadar Akaya meletakkan telapak tangannya di bagian bawah tubuhnya. Dibukanya resleting celananya dengan tak sabar. Ia sisipkan tangannya dan mulai mengusapnya.
'Akaya..'
Ia berusaha mengingat semua tentang orang itu selain suaranya; ah, wangi tubuhnya. Orang itu selalu membawa sachet wewangian untuk membuatnya rileks. Ia pernah melihat sekali karena penasaran; rasa cinnamon. Wanginya hanya samar-samar, namun ia akui, wangi itu membuatnya rileks.
Mengingat wangi tubuh orang itu yang bercampur aroma cinnamon hanya membuatnya semakin bergairah.
Ia usap miliknya sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Napasnya makin memanas. Ia melupakan kenyataan bahwa ia sedang menyentuh dirinya sendiri sambil membayangkan kakak kelasnya di klub yang merupakan seorang laki-laki.
Ia sudah tak mau memikirkan apa-apa lagi.
Sosok orang itu kembali muncul di kepalanya. Wajah orang itu dekat sekali dengannya; kurang sesenti lagi mereka akan saling bersentuhan. Orang itu tersenyum kecil, bibirnya mendekati telinga Akaya.
'Akaya, kau adalah kebanggaan kami - tidak, kebanggaanku.'
Akaya menggerakkan tangannya lebih cepat lagi. Mukanya kian memerah. Ia membasahi bibirnya dengan lidahnya sambil berbisik pelan.
"Yanagi-senpai.."
Iapun mencapai orgasme. Cairan miliknya membasahi telapak tangannya. Dilihatnya cairan itu, seketika ia teringat akan apa yang baru saja ia lakukan. Mukanya kembali memerah; ia merasa begitu bodoh dan malu. Diraihnya tisu di atas meja, mengelap tangannya, lalu membuangnya. Ia kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil berteriak frustasi.
"Sialan.. Sampai kapan kau mau menghantuiku?"
Ini bukan pertama kalinya orang itu muncul dalam pikiran Akaya. Awalnya ia merasa, mungkin, orang itu punya dendam padanya atau membencinya sampai-sampai dalam mimpi pun ia kerap muncul.
Namun perlahan ia mengerti. Kenapa orang itu selalu menghantui pikirannya. Kenapa hanya dengan mendengar suaranya saja, detak jantungnya bergerak sedikit lebih cepat. Kenapa semakin hari, frekuensinya menatap orang itu semakin sering. Namun Akaya selalu menyangkalnya.
Ia tahu bahwa ia terlihat seperti anak kecil yang tak mau melihat kenyataan,
Bahwa ia telah jatuh cinta dengan orang itu.

No comments:

Post a Comment